PASCA PANEN PISANG RAKYAT
Yang
dimaksud sebagai pisang rakyat adalah komoditas pisang yang dihasilkan
dari kebun rakyat. Sebutan ini untuk membedakannya dengan pisang hasil
budidaya perkebunan besar. Jenis yang paling banyak dibudidayakan oleh
rakyat adalah ambon kuning, ambon lumut, kepok kuning, raja bulu, raja
sereh, tanduk, mas dan muli. Sementara yang dibudidayakan oleh
perkebunan besar adalah pisang cavendish. Pisang barangan, sebenarnya
juga dibudidayakan oleh rakyat, terutama di kawasan Sumatera Utara.
Namun pola pasca panen dan pemasarannya sangat spesifik, berbeda dengan
pisang rakyat lainnya.
Dari delapan pisang rakyat tersebut, yang
paling banyak dibudidayakan adalah ambon kuning, raja bulu, mas dan
tanduk. Raja sereh, meskipun disukai konsumen, sangat sedikit
dibudidayakan. Hingga suplai ke pasar juga kurang. Karenanya, di kios
oleh-oleh di Klakah (Lumajang, Jatim), Pingit (Temanggung, Jateng) dan
Puncak (Bogor, Jabar), yang paling dominan hanya pisang ambon kuning,
raja bulu, mas dan tanduk. Bahkan, yang sudah dipastikan ada hanyalah
ambon kuning dan tanduk. Sementara raja bulu dan mas kadang-kadang
kosong.
Sebagai pisang rakyat, ambon kuning dan tanduk berasal
dari tanaman yang tumbuh satu dua rumpun di halaman rumah, ladang dan
kebun. Budidaya monokultur hampir tidak ada. Kecuali di bekas tebangan
di lahan milik Perum Perhutani dan PTPN, kadang-kadang masyarakat
menanam pisang secara monokultur. Pisang yang berasal dari kebun rakyat
ini, biasanya dipanen mentah. Kecuali di Jawa Tengah, khususnya di
sekitar Semarang. Di kawasan ini, pisang apa pun selalu dipanen masak
pohon. Termasuk pisang tanduk. Selanjutnya, pisang yang baru masak satu
atau dua buah di sisir paling atas itu, langsung dipasarkan dalam
keadaan utuh berupa tandan.
Selain di Jawa Tengah, pisang dipanen
mentah dengan cara tandanan. Jarang sekali dilakukan penyisiran. Pisang
tandanan ini akan diangkut dengan truk atau pickup. Di Jawa, umumnya
pisang diangkut dengan pickup karena volume penennya yang terbatas.
Sementara pisang dari Lampung atau Sumatera yang dipasarkan ke Jawa,
selalu diangkut dengan truk kapasitas 5 ton, namun dijejali muatan
sampai 7 ton. Caranya, tandan pisang ditumpuk dengan ditidurkan.
Akibatnya banyak tandan yang rusak. Pisang kepok dari Kalimantan Timur,
malahan dibawa ke Jawa dengan truk tronton kapasitas 10 ton sekali
angkut.
Pisang yang masih berupa tandan ini, sesampai di
penampung akan diperam sebelum dipasarkan. Ada dua perlakuan sebelum
pisang diperam. Pertama dilakukan penyisiran, kedua tetap dibiarkan utuh
berupa tandan. Proses pemeramannya dengan asap, karbit atau gas etilen.
Masing-masing punya kelebihan sendiri-sendiri. Penyisiran sebelum
pemeraman memiliki keuntungan karena transportasinya lebih murah. Bobot
tangkai tandan pisang bisa sampai 20% dari total bobot tandan. Kalau
truk dari Lampung yang masuk Jakarta mengangkut 7 ton pisang tandanan,
maka yang 1,4 ton adalah tangkai tandan.
Kalau penyisiran
dilakukan di kebun, maka tangkai tandan pisang itu bisa dikembalikan ke
lahan sebagai pupuk organik. Di lain pihak ada penghematan ongkos
angkut. Dengan biaya angkut Rp 100,- per kg. maka dari tiap rit dengan
bobot 7 ton, ada penghematan biaya Rp 140.000,- Kalau dalam keadaan
normal tiap harinya ada sekitar 100 truk pisang dari Lampung ke Jakarta,
maka penghematan yang bisa didapat mencapai Rp 14.000.000,- per hari
atau Rp 420.000.000,- per bulan. Belum lagi penghematan yang bisa
diperoleh dari upah menyisir yang lebih murah di Lampung daripada di
Jakarta.
Pasca panen pisang modern maupun tradisional, memang
sama-sama menggunakan pola penyisiran. Dalam pasca panen modern, pisang
harus segera disisir begitu dipanen. Sisiran pisang dimasukkan ke dalam
bak berisi air yang mengalir untuk menghilangkan getahnya. Selanjutnya
sisiran digrade, disortir, dikeringkan lalu dikemas plastik vacum dan
dimasukkan ke dalam kardus. Pisang mentah yang telah dikemas ini,
kemudian dimasukkan ke dalam cold storage dan dikirim dengan kapal laut
ke negara importir. Dengan kemasan vacum dan suhu 14° C, pisang mentah
ini bisa bertahan tetap segar sampai jangka waktu satu bulan.
Di
negara konsumen, pisang ini tetap disimpan dalam cold storage. Pemasakan
(pemeraman) dilakukan secara bertahap sesuai daya serap pasar. Untuk
memasakkannya, kardus dan plastik kemasan dibuka, lalu ditaruh dalam rak
pemeraman. Rak ini berada dalam ruang bersuhu antara 20 sd. 22° C. Ke
dalam ruang pemeraman ini dialirkan gas etilen. Dalam jangka waktu 24
jam, seluruh pisang akan masak dengan ditandai warna kulitnya yang
kuning cerah. Biasanya, yang diperlakukan demikian hanyalah pisang
cavendish serta golden fingger (lady finger). Namun perlakuan demikian
sebenarnya bisa diterapkan untuk semua jenis pisang.
Secara
tradisional (untuk dikonsumsi sendiri), masyarakat memeram pisang dengan
terlebih dahulu disisir, dijemur lalu dimasukkan ke dalam lubang dengan
lapisan daun lamtoro atau albisia yang telah dilayukan. Kemudian lubang
ditutup tanah. Dalam jangka waktu tiga hari seluruh pisang yang diperam
akan masak. Namun cara demikian tidak mungkin dilakukan secara massal.
Para pemeram pisang di kawasan Ciawi, Cibedug dan Cijeruk, kab. Bogor,
membuat lubang permanen (ruang bawah tanah) yang dukuatkan dengan
batako. Bagian atas lubang dicor dengan semen. Ruang bawah tanah ini
hanya diberi lubang ukuran 60 X 60 cm. yang bisa dibuka dan ditutup.
Melalui
lubang inilah tandan pisang utuh dimasukkan dan ditata. Setelah ruang
bawah tanah itu penuh tandan pisang, pintu lubang ditutup. Melalui
lubang kecil yang diberi pipa besi dimasukkan asap. Caranya, sabut atau
daun kelapa kering ditaruh pada ujung lubang lalu dibakar dan
dikipas-kipas. Asap akan masuk ke dalam ruang melalui pipa besi tadi.
Setelah ruangan penuh asap, sabut yang terbakar diambil dan lubang kecil
itu juga ditutup. Pemeraman demikian hanya berlangsung selama 24 jam.
Setelah itu pisang diambil dan disisir untuk dipasarkan.
Agar
dicapai tingkat kemasakan penuh (pisang siap untuk dikonsumsi),
pemeraman dalam ruang berasap juga harus dilakukan selama 3 X 24 jam.
Namun akibatnya pisang tidak bisa tahan lama didisplai di pasar swalayan
atau kios buah di kawasan Puncak. Dengan lama pemeraman hanya 24 jam,
maka warna pisang masih hijau kekuningan. Daging buahnya sendiri
meskipun sudah mulai empuk, namun belum siap untuk dikonsumsi. Hari itu
pisang disisir, besuknya didistribusikan dan hari berikutnya ketika
didisplai, pisang sudah siap untuk dikonsumsi. Pisang dengan tingkat
kemasakan demikian akan tahan didisplai sampai sekitar satu minggu.
Pemeraman
dalam ruang berasap ini berkembang di sekitar Ciawi, Cibedug, Cijeruk
dan sekitarnya, karena suhu harian rata-rata di kawasan ini memang cocok
untuk memeram pisang yakni 22° C. Selain dengan asap, ada juga pemeram
yang menggunakan gas karbit (yang biasa digunakan untuk mengelas).
Kelebihan gas karbit adalah, mudah pengoperasiannya, masaknya pisang
lebih merata, warna kuningnya lebih cerah. Meskipun pisang ambon kuning
masih sangat muda, apabila diperam dengan gas karbit akan masak dengan
warna kulit yang kuning cerah merata.
Kelemahan pemeraman dengan
karbit adalah, daya tahan pisang lebih pendek dari yang diperam dengan
asap. Selain itu, rasa pisang juga menjadi lebih hambar jika dibanding
dengan yang diperam menggunakan asap. Pembeli yang jeli, akan dengan
mudah membedakan, mana pisang yang diperam dengan karbit, dan mana yang
dengan asap. Pembeli awam, biasanya akan memilih pisang yang diperam
dengan karbit, karena penampilannya yang lebih menarik. Sementara
konsumen yang sudah berpengalaman akan lebih memilih pisang hasil
pemeraman dengan asap. Meskipun warna kulitnya agak kurang cerah, namun
rasanya lebih manis daripada yang diperam dengan gas karbit.
Pola
penyisiran agroindustri pisang modern, sebenarnya sama dengan yang
dilakukan oleh petani tradisional, yakni dengan membuang seluruh tangkai
tandan. Di unit pasca panen cavendish, alat penyisir itu berupa pisau
yang bagian tajamnya melengkung dengan pola dan ukuran tangkai sisir
pisang. Pisau itu diberi tangkai panjang. Hingga ketika ditusukkan ke
pangkal sisir, maka sisiran itu akan lepas dan masuk ke dalam bak berisi
air. Cara ini pulalah yang dilakukan para petani tradisional. Hingga
seluruh tangkai tandan terbuang. Cara ini bisa sangat menghemat biaya
angkut.
Pola demikian tidak diterapkan pada agroindustri pisang
yang tanggung. Di kawasan Ciawi, pisang yang telah diperam berikut
tangkai tandannya, segera disisir dengan cara memotong tangkai tandan
secara melintang. Tujuannya adalah, agar daya tahan pisang lebih tinggi
selama didisplai. Sebab displai pisang rakyat di kios-kios buah ini
dilakukan di ruang terbuka yang terkena panas matahari langsung. Kalau
tangkai tandan dibuang, maka bekas potongan di pangkal sisir itu akan
segera tampak cokelat atau menghitam. Kalau tangkai tandan masih
dibiarkan melekat pada sisiran, maka setiap kali bekas potongan menjadi
hitam, bisa diiris lagi hingga tampak kembali segar.
Selain itu,
penyertaan tangkai tandan juga bertujuan agar volume sisiran itu tampak
lebih besar. Pola penyisiran dengan mengikutsertakan tangkai tandan
demikian, juga dilakukan oleh agroindustri pisang barangan. Pola
penyisiran demikian sebenarnya merupakan pemborosan. Sebab sampah yang
dibawa konsumen lebih banyak daripada kalau membeli pisang hanya berupa
sisir tanpa mengikutsertakan tangkai tandan. Pola pemasaran pisang ambon
kuning berupa satu pasang terdiri dari dua buah pisang, sebenarnya
merupakan terobosan yang lebih rasional. Sebab seluruh tangkai tandan
ditinggal di kebun atau lokasi pemeraman. Konsumen hanya cukup membawa
pisang tanpa tangkai tandan. * * *
Sumber : http://foragri.blogsome.com/pasca-panen-pisang-rakyat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar